BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hubungan dengan Penelitian
Sebelumnya
Dalam
rangka melengkapi sumber penelitian maka penulis mencoba menelusuri penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya yang mempunyai kesamaan objek kajian dengan
penelitian ini. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti menemukan
beberapa hasil karya ilmiah yang membahas pembinaan akhlak.
Diantara
penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian penulis ini adalah tesis yang
dibuat oleh Wahyu Mustakim yang berjudul pengaruh
penerapan pembinaan karakter di sekolah terhadap perilaku akademik siswa kelas
X teknik computer di SMK PIRI Yogyakarta. Dalam penelitian ini digambarkan
adanya pengaruh pembinaan karakter terhadap perilaku akademik siswa.[1]
Selain itu ditemukan pula hasil penelitian dari Amanarus Sabroh yang berjudul Pengaruh Pendidikan karakter Terhadap Pembentukan
Kejujuran Siswa Mts Negeri Galur Kulon Progo Yogyakarta. Dalam
penelitian ini penulis menarik kesimpulan bahwa pembinaan karakter berpengaruh
signifikan pada tingkat kejujuran siswa.[2]
Selain hasil
penelitian di atas terdapat pula penelitian dari A.Hapidah yang berjudul Pelaksanaan Pembinaan karakter
Melalui Kegiatan Ekstrkurikuler Di Madrasah Aliyah Negeri 1 Watampone. Dalam penelitian
A.Hapidah bahwa pembinaan karakter di MAN 1 Watampone
berjalan dengan baik dan efektif pada kegiatan ekstrakulikuler.[3]
Dari dua tesis
di atas dapat dilihat bahwa pembinaan karakter dapat berjalan dengan baik pada
sekolah dan berdanpak positif pada
pembentukan
karakter siswa. Pendidikan karakter di
sekolah/madrasah merupakan suatu sistem yang berupaya untuk menanamkan
nilai-nilai luhur warga madrasah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Dalam
pelaksanaan karakter di Madrasah, semua komponen madrasah harus dilibatkan,
termasuk kompenen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan madrasah, pelaksanaan aktivitas, atau kegiatan kokurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan ethos kerja seluruh warga
madrasah/lingkungan.
Pendidikan
karakter di sekolah sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah.
Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah
secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang
perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan
tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian manajemen
sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di
sekolah. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah. Budaya sekolah yang dimaksud yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan
masyarakat sekitar sekolah.
B.
Landasan Teori
1. Kosep Pembinaan Karakter
a.
Pengertian Pembinaan karakter
Pengertian
karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter berarti
sifat-sifat kejiwaan akhlak atau budi pekerti yang membedakan seorang dengan
yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak[4].
Sedangkan menurut istilah (terminologis) terdapat beberapa
pengertian tentang karakter, sebagaimana telah dikemukakan oleh beberapa ahli,
diantaranya adalah sebagai beikut:
1)
Hornby and Parnwell mendefinisikan karakter adalah kualitas mental
atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.
2)
Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada
suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan.
3)
Doni Koesoema A. memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas
dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan’
4)
Winnie memahami bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian
tentang karakter. Pertama, ia
menunjutkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila berperilaku tidak
jujur, kejam atau rakus, tentulah orang tersebut memanisfestasikan perilaku
buruk. Sebaiknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah
orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’
apabila tingka lakunya sesuai tingkah moral.
5)
Sedangkan Imam Ghozali mengangap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam
bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia
sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.[5]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter mengacu
pada kepribadian seseorang. Kepribadian
dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari keluarga
pada masa kecil, bawaan sejak lahir,
masyarakat maupun dari lingkungan sekolah.
Pembinaan
karakter dalam sekolah dilakukan pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan
pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai
tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Pembinaa karakter dalam sekolah banyak
dilakukan di dalam proses pembelajaran dimana di dalam materi pelajaran
ditanamkan nilai-nilai karakter seperti yang dikemukakan oleh Heri Gunawan
sebagai berikut:
1)
Pembinaan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan
pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran;
2)
Diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara
utuh. Asumsi anak merupakan organisme manusia yang memiliki potensi untuk
dikuatkan dan dikembangkan
Penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang
dirujut sekolah.[6]
Dengan demikian
karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpateri dalam diri dan
terwujudkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah
pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok
orang. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata
karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi
karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat
disebut dengan kebiasaan. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa
karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik
dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama
manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum, tata
karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep
pendidikan karakter (character education).
Model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan
suatu proses. Model pembinaan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Model pendidikan karakter di madrasah adalah dengan
melobatkan semua komponen (pemangku pendidikan), termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, pemberdayaan
sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
Pembinaan karakter di
sekolah harus dilakukan secara teratur dan terarah agar siswa dapat
mengembangkan dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai
tujuan itu tentu tidak terlepas dari beberapa faktor penunjang yang
tersedia dan terlaksana dengan baik, seperti tenaga pengajar yang baik
serta faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap proses dari pembinaan akhlak
secara keseluruhan.
Pembangunan karakter
adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia.
Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang
benar. Pendidikan rumah tangga maupun pendidikan dalam sekolah, orang tua dan
guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas mereka.
Menurut Mochtar Buchori mengatakan pendidikan karakter seharusnya
membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata[7].
Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu
segera dikaji dan dicari altenatif-alternatif solusinya serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan.
b.
Faktor-faktor Pembentukan
Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah
pikiran karena pikiran, yang didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk
dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini
kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola
berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya
berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa
ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan
menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian
serius.[8] Pikiran harus dikelolah
dengan baik agar terbentuk karakter yang baik pada diri siswa.
Dalam pembentukan karakter, terdapat unsur-unsur pembentukan
karakter sebagai berikut:
1)
Faktor
keturunan (genetis)
berpengaruh langsung dalam pembentukan kepribadian seseorang. Beberapa factor
biologis yang penting seperti system syaraf, watak, seksual dan kelainan
biologis, seperti penyakit-penyakit tertentu. faktor genetic yang mempengaruhi karakter ialah sifat-sifat dan karakter-karakter individu yang biasa terlihat pada manusia yang terdapat pada sel-sel sperma kedua orangtua
yang berpindah kepada anak-anak mereka[9].
Karakteristik-karakteristik yang terdapat pada sperma inilah yang menentukan
perjalanan, perkembangan dan pembentukan kepribadian masa depan anak, baik di
dalam maupun di luar rahim. Karakter seorang anak akan dapat
pengaruh langsung dari karakter kedua orang tuanya.
2)
Faktor
lingkungan fisik (geografis) Meliputi iklim dan bentuk muka bumi atau topografi
setempat, serta sumber-sumber alam, Faktor lingkungan fisik (geografis) ini
mempengaruhi lahirnya budaya yang berbeda pada masing-masing masyarakat. Keadaan
lingkungan fisik atau lingkungan sosial tertentu memengaruhi kepribadian
individu atau kelompok karena manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Contohnya,
orang-orang Aborigin harus berjuang lebih gigih untuk dapat bertahan hidup
karena kondisi alamnya yang kering dan tandus, sementara, bangsa Indonesia
hanya memerlukan sedikit waktunya untuk mendapatkan makanan yang akan
mereka makan sehari-hari karena tanahnya yang subur.[10]
3)
Lingkungan
masyarakat dan kelompok yang beraneka ragam. Pengalaman
kelompok yang dilalui seseorang dalam sosialisasi cukup penting perannya
dalam mengembangkan kepribadian. Kelompok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian
seseorang. Pada mulanya,
keluarga adalah kelompok yang dijadikan acuan seorang bayi selama
masa-masa yang paling peka. Setelah keluarga, kelompok referensi lainnya
adalah teman-teman
sebaya. Peran kelompok sepermainan ini dalam perkembangan kepribadian
seorang anak akan semakin berkurang dengan semakin terpencar nya mereka
setelah menamatkan sekolah dan memasuki kelompok lain yang
lebih majemuk (kompleks). Selanjutnya adalah Kelompok
majemuk menunjuk pada kenyataan masyarakat yang lebih beraneka ragam.
Dengan kata lain, masyarakat majemuk memiliki kelompok-kelompok dengan
budaya dan ukuran moral yang berbeda-beda.
4)
Faktor
kebudayaan yang berbeda-beda. Perbedaan
kebudayaan dalam setiap masyarakat dapat mempengaruhi kepribadian seseorang
misalnya kebudayaan di daerah pantai, pegunungang, kebudayaan petani,
kebudayaan kota. Kebudayaan yang baik akan menghasilkan kepribadian yang naik. Hal ini dapat
dikatakan demikian karena kebudayaan yang tertanam sejak usia dini pada
seseorang cenderung lebih kuat untuk menangkal masuknya kebudayaan negatif pada
seseoran. Tentunya dibutuhkan peranan orang
tua untuk memperkenalkan anak pada ajaran-ajaran agama sejak dini. Kebudayaan
memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepribadian. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai perilaku manusia yang masih mencerminkan kebudayaan mereka masing
– masing.
Faktor lingkungan dalam
konteks pembinaan karakter memiliki
peran yang sangat peting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil
dari proses pembinaan karakter sangat ditentunkan oleh faktor lingkungan ini.
Dengan kata lain pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup diantaranya
lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik,
dan metode mengajar. Pembentukan karakter melalui rekasyasa faktor lingkungan
dapat dilakukan melalui strategi :
1.
Keteladanan
2.
Intervensi
3.
Pembiasaan
yang dilakukan secara Konsisten
4.
Penguatan.[11]
Dengan kata lain
perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang
ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus
dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus
dibarengi dengan nilai-nilai luhur.
Pembentukan karakter
individu pada umumnya melalui berbagai proses dimana banyak faktor yang
berperan selama proses pembentukan karakter berlangsung. Karakter terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah
nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan
karakter masyarakat dan karakter bangsa.V. Campbell dan R. Obligasi menyatakan
ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang:
1. Faktor keturunan
2. Pengalaman masa
kanak-kanak
3. Pemodelan oleh
orang dewasa atau orang yang lebih tua
4. Pengaruh
lingkungan sebaya
5. Lingkungan fisik
dan social
6. Subtansi materi
di sekolah atau lembaga pendidikan lain
7. Media massa[12]
Faktor-faktor yang yang
berpengaruh dalam pendidikan karakter di atas sangat perlu untuk bekerja sama
agar pendidikan karakter dapat berjalan lancar. Selain itu, Pendidik tidak
kalah pentingnya dalam menjalankan dunia pendidikan. Seorang guru yang baik,
pasti mampu memahami kebutuhan khusus setiap siswa yang nantinya dapat membantu
dalam menyesuaikan diri dengan kurikulum yang sedang berlangsung. Guru juga
memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengetahuan dan juga teladan yang
nanti bakal ditiru oleh murid-muridnya. Oleh sebab itu, pendidikan karakter
seorang siswa juga dapat dipengaruhi oleh tingkah laku seorang guru, karena
ketika seorang guru melakukan sebuah keteledoran tidak menutup kemungkinan
siswanya juga akan melakukan hal yang sama, begitupun sebaliknya. Karena
kecenderungan siswa ketika di sekolah, akan lebih banyak meniru perilaku
seorang guru. Jadi guru juga memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan
pendidikan karakter, karena guru itu “digugu
dan dituru”.
c. Proses Pembentukan Karakter
Secara alami,
anak sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima
tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tampak ada penyelesaian sehingga
pikiran bawah sadar masih terbuka dan menerima apa saja informasi stimulus yang
dimasukkan kedalamnya tanpa ada
penyelesaian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga
Pondasi
tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri.Jika sejak kecil kedua
orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil
kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Namun, jika kedua orangtua
selalu menunjukkan rasa saling menhormati dengan bentuk komunikasi yang akrab
maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan
kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber
lainnya menambahkan pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki
kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar.
Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar menjadi semakin dominan seiring
perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui
pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk
yang melalui pancaindra dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah
sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem
kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan,
kebiasaan, dan karakter unik dari masing-masing individu.
Dalam literatur Islam ditemukan bahwa faktor gen/keturunan diakui
sebagai salah satu faktor yang memengaruhi pembentukan karakter.Misalnya,
pengakuan Islam tentang alasan memilih calon istri atas dasar faktor keturunan.
Rasul perna bersabda yang intinya menyebutkan bahwa kebanyakan orang menikahi
wanita karena faktor rupa, harta, keturunan, dan agama.Meskipun Islam
mengajarkan bahwa faktor terbaik dalam memilih calon istri adalah agamanya.
Akhir-akhir ditemukan bahwa faktor yang paling penting berdampak
pada karakter seseorang disamping gen ada faktor lain, yaitu makanan, teman,
orangtua, dan tujuan merupakan faktor terkuat dalam mewarnai karakter seorang.
Dengan demikian jelaslah bahwa karakter itu dapat dibentuk berdasarkan uraian
diatas dapat dipahami bahwa membangun karakter menggambarkan.
1)
Merupakan suatu proses yang terus-menerus dilakukan untuk membentuk
tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan yang berlandaskan pada semangat pengabdian
dan kebersamaan.
2)
Menyempurnakan karakter yang ada untuk mewujudkan karakter yang
diharapkan.
3)
Membina nilai/karakter sehingga menampilkan karakter yang kondusif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilandasi dengan
nilai-nilai dan falsafah hidup[13]
d.
Tahap-tahap pembinaan karakter
Secara teoretik nilai moral/karakter berkembang secara psikologis dalam diri
individu mengikuti perkembangan usia, Piaget merumuskan perkembangan kesadaran
dan pelaksanaan aturan dengan membagi menjadi beberapa tahapan dalam dua domain
yakni kesadaran dan pelaksanaan aturan dengan membagi beberapa tahapan dalam
dua domain yakni kesadaran mengenai aturan dan pelaksanaan aturan. tahapan
pembentuk karakter adalah sebagai berikut:
a.
Tahapan pada domain Kesadaran Aturan:
1)
Usia 0-2 tahun: Aturan dilakukan sebagai hal yang tidak bersifat
memaksa.
2)
Usia 2-8 tahun: Aturan disikapi bersifat sakral dan diterima tanpa
pemikiran.
b.
Tahapan pada domain Pelaksanaan Aturan:
1)
Usia 0-2 tahun: Aturan dilakukan hanya bersifat motorik.
2)
Usia 2-6 tahun: Aturan dilakukan dengan orientasi diri sendiri.
3)
Usia 6-10 tahun: Aturan dilakukan sesuai kesepakatan.
4)
Usia 10-12 tahun: Aturan dilakukan karena sudah dihimpun.[14]
Sedangkan
penelitian Kohlberg sebagaimana yang dikutip oleh ahmad tafsir menhasilkan
rumusan tiga tingkat/level dalam perkembangan moral, yakni:
a.
Tingkat I: Prakonvesional
1)
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan (apa pun yang mendapatkan
pujian atau dihadiahi adalah baik, dan apa pun yang dikenai hukuman adalah
buruk)
2)
Tahap 2: Orientasi instrumental nisbi (berbuat baik apabila orang
lain berbuat baik padanya, dan yang baik itu adalah bila satu sama lain berbuat
hal yang sama)
b.
Tingkat II: Konvensional
1)
Tahap 3: Orientasi kesepakatan timbal balik (sesuatu dipandang baik
untuk memenuhi tanggapan orang lain atau baik karena disepakati)
2)
Tahap 4: Orientasi hukuman dan ketertiban (sesuatu yang baik itu
adalah yang diatur oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai pemenuhan
kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut)
c.
Tingkat III: Poskonvensional
1)
Tahap 5: Orientasi kontak sosial legalistic (sesuatu dianggap baik
bila sesuai dengan kesepakatan umum dan diterima oleh masyarakat sebagai
kebenaran konsensual)
2)
Tahap 6: Orientasi prinsip etika Universal (sesuatu yang dianggap
baik telah menjadi prinsip etika yang bersifats universal dari mana norma dan
aturan dijabarkan).[15]
Berdasarkan
klasifikasi tersebut maka pembinaan karakter anak harus disesuaikan dengan
dunia anak. Dengan kata lain, pembinaan karakter anak harus disesuaikan dengan
tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Selain tahapan seperti yang di
jelaskan di atas terdapat pula tahapan lain dalam pembentukan karakter seperti
berikut:
1. Tahap pertama adalah membentuk
adab, antara usia 5 sampai 6 tahun. Tahapan ini meliputi jujur, mengenal antara
yang benar dan yang salah, mengenal antara yang baik dan yang buruk serta
mengenal mana yang diperintahkan, misalnya dalam agama.
2. Tahap kedua adalah melatih
tanggung jawab diri antara usia 7 sampai 8 tahun. Tahapan ini meliputi perintah
menjalankan kewajiban shalat, melatih melakukan hal yang berkaitan dengan
kebutuhan pribadi secara mandiri, serta dididik untuk selalu tertib dan
disiplin sebagaimana yang telah tercermin dalam pelaksanaan shalat mereka.
3. Tahap ketiga adalah membentuk
sikap kepedulian antara usia 9sampai 10 tahun. Tahapan ini meliputi diajarkan
untuk peduli terhadap orang lain terutama teman-teman sebaya, dididik untuk
menghargai dan menghormati hak orang lain, mampu bekerjasama serta mau membantu
orang lain.
4. Tahap keempat adalah membentuk
kemandirian, antara usia 11 sampai 12 tahun. Tahapan ini melatih anak untuk
belajar menerima resiko sebagai bentuk konsekuensi bila tidak mematuhi perintah,
dididik untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
5. Tahap kelima adalah membentuk
sikap bermasyarakat, pada usia 13 tahun ke atas. Tahapan ini melatih kesiapan
bergaul di masyarakat berbekal pada pengalaman sebelumnya. Bila mampu
dilaksanakan dengan baik, maka pada usia yang selanjutnya hanya diperlukan
penyempurnaan dan pengembangan secukupnya.[16]
Seperti di jelaskan di atas terdapat 5 tahapan pembentukan karakter. Setiap
tahapan pembentukan karakter berkaitan erat dengan usia anak sehingga tidak
semua karakter di paksakan kepada anak. Tahapan pembentukan karakter tersebut dapat
di terima dengan baik oleh anak pada proses berikut:
1.
Adanya nilai
yang diserap seseorang dari berbagai sumber, seperti agama, ideologi,
pendidikan dll.
2.
Nilai membentuk
pola fikir seseorang yang secara keseluruhan keluar dalam bentuk rumusan visi.
3.
Visi turun ke
wilayah hati membentuk suasana jiwa yang secara keseluruhan membentuk
mentalitas.
4.
Mentalitas
mengalir memasuki wilayah fisik dan melahirkan tindakan yang secara keseluruhan
disebut sikap.
5.
Sikap-sikap
dominan dalam diri seseorang yang secara keseluruhan mencitrai dirinya adalah
apa yang disebut sebagai karakter atau kepribadian.[17]
Kurikulum
sebagai komponen penting dalam pendidikan harus memiliki tujuan dan sasaran
yang akan dicapai, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan
kegiatan belajar dan mengajar, dan akhirnya evaluasi hasil belajar. Dalam
kurikulum 2013 ini lebih menekankan pada keluaran yang memiliki karakter.Adapun
karakter yang dimaksud berjumlah 18 karakter. Berikut 18 karakter yang
dimaksud:
1.
Religius : Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan selalu
hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.
Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.
3.
Toleransi : Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.
Disiplin : Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5.
Kerja Keras : Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
6.
Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7.
Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.
Demokratis : Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9.
Rasa Ingin Tahu : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan
didengar.
10. Semangat
Kebangsaan : Cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta
Tanah Air : Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan rasa kesetiaan,
kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai
Prestasi : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif
: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama
dengan orang lain.
14. Cinta
Damai : Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar
membaca : Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli
Lingkungan : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli
Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-Jawab
: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.[18]
Karakter-karakter
tersebut yang akan diupayakan untuk mengantarkan siswa agar mampu bersaing
namun tetap memegang teguh karakter bangsa. Karakter seperti di atas bukann
hanya sekedar di ajarkan untuk di ketahui peserta didik namun harus di tanamkan
agar karakter tersebut menjadi perilaku dalam kesehariannya.
Selain 18 karakter di atas terdapat enam jenis
karakter berdasar The Six Pillars of Character yang dikeluarkan oleh Character
Counts Coalition ( a project of The Joseph Institute of Ethics)
adalah sebagai berikut:
a.
Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang
menjadi: berintegritas, jujur, dan loyal
b.
Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang
memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.
c.
Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang
memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial
lingkungan sekitar.
d.
Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu
menghargai dan menghormati orang lain.
e.
Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar
hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.
f.
Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang
bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin[19]
Keenam karakter di atas sudah dapat
mewakili 18 karakter yang telah di susun oleh kementrian pendidikan Indonesia.
2.
Pembinaan
Karakter Di Sekolah
a.
Pembelajaran
Upaya yang bisa
dilakukan untuk pembinaan karakter siswa di sekolah di antaranya adalah dengan
memaksimalkan fungsi mata pelajaran pendidikan agama di sekolah. Pendidikan
agama dapat dijadikan basis untuk pembinaan karakter siswa tersebut. Guru agama
bersama-sama para guru yang lain dapat merancang berbagai aktivitas sehari-hari
bagi siswa di sekolah yang diwarnai nilai-nilai ajaran agama. Dengan cara ini,
siswa diharapkan terbiasa untuk melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan yang
pada akhirnya dapat membentuk karakternya.
Pemahaman mengenai arti pendidikan karakter akan ikut
menentukan isi pendidikan karakter. Banyak orang berpikir, pihak yang dianggap
bertanggung jawab dalam mendidik karakter atau budi pekerti adalah guru agama
dan guru pendidikan budi pekerti. Pikiran demikian jelas kurang tepat karena
masalah karakter atau budi pekerti akan berkaitan dengan satu dengan yang lain
baik program pendidikan di sekolah maupun lingkungan. Pendidikan karakter atau
budi pekerti sangat luas sehingga sesuatu yang tidak mungkin manakala hanya
menjadi tanggung jawab guru agama ataupun guru pendidikan budi pekerti. Oleh
karena itu, timbul gagasan tentang pentingnya kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) dalam setiap mata pelajaran yang tidak secara eksplisit ditulis
dalam kurikulum.
Prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan
karakter yang terdapat dalam mata pelajaran sebagai hidden curriculum harus
berlandaskan pada;
1)
Berkelanjutan; mengandung makna
bahwa proses yang tiada henti, dimulai dari awal peserta didik masuk samapai
selesai dari suatu satuan pendidikan bahkan sampai terjun ke masyarakat.
2)
Diajarkan melalui semua mata
pelajaran dan dilengkapi dengan pengembangan diri dan budaya sekolah.
3)
Penanaman nilai-nilai atau
norma-norma tidak hanya diajarkan tetapi dikembangkan dan dilaksanakan.
4)
Proses pendidikan harus dilakukan
peserta didik secara aktif dan menyenangkan; guru harus merencanakan kegiatan
belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari
sumber informasi yang sudah dimiliki, dan menumbuhkan nilai-nilai budaya dan
karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di
kelas, sekolah dan tugas-tugas di luar sekolah.[20]
Setiap mata pelajaran harus menyertakan pembentukan karakter
dalam pelaksanaan pembelajarannya meskipun tidak secar konkret tertulis dalam
kurikulum tapi harus termuat dalam hidden curriculum yang diterapkan. Penerapan
hidden curriculum pembentukan karakter tersebut harus dilandaskan pada
prinsip-prinsip di atas.
b.
Ekstrakurikuler
Pendidikan idealnya mampu
menyediakan lingkungan yang memungkinkan siswa didik untuk mengembangkan
kesadaran diri, potensi, bakat dan kemampuan positif lainnnya secara optimal,
sehingga mereka mampu mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan
kebutuhan pribadinya dalam menyelesaikan setiap problem yang mereka hadapi
dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagian
peserta didik atau anak-anak mungkin membutuhkan lingkungan dengan struktur
yang ketat dan dapat mengarahkannya tetapi mungkin sebagian yang lain lebih
cocok dengan situasi yang longgar. Oleh karena itu pemberian tambahan pelajaran
karakter atau menambah porsi pada kegiatan ekstakulikuler sekolah diharapkan
mampu melatih, membersihkan dan menjaga kemurnian kasadaran para siswanya.[21]
Kegiatan ekstrakuler kepada siswa
diharapkan mampu memberikan pengalaman hidup yang mereka butuhkan, melalui
kegiatan ekstrakurikuler memberikan sumbangan yang berarti bagi siswa untuk
mengembangkan minat-minat baru, menanamkan tanggung jawab sebagai warga negara,
melalui pengalaman pembentukan karakter kerja sama, kemandirian, disiplin,
toleran dan membangun karakter-karakter positif lainnya, jangan biarkan mereka
mencari sendiri ruang ekspresi diri tanpa pengarahan dari guru, orang tua dan
lingkungan sekitar.
Kegiatan ekstrakulikuler di sekolah
merupakan kegiatan tambahan di luar jam formal dikelas, jika dinilai kegiatan
belajar di kelas dirasa masih kurang, maka perlu adanya kegiatan tambahan yaitu
kegiatan ekstrakulikuler yang orientasinya bukan hanya kepada pengembangan
bakat mereka, tetapi kepada pembinaan karakter mereka. Ekskul diharapkan mampu
melatih respon positif, dan sekaligus respon spontan peserta didik dalam
memecahkan problem yang mereka hadapi, dengan kata lain mereka mempunya akhlaq
(budi pekerti) yang baik, sehigga diharapakan mereka tidak lagi mudah marah,
gampang tersinggung, intoleran, egois dan lain sebagainya. Ekskul diharapkan
menjadi alternatif untuk mengurangi tindak atau perilaku negatif pelajar,
misalnya: tawuran, gang motor pelajar, perilaku seks bebas, narkoba dan lain
sebagainya.
Mengingat banyaknya problem
moralitas, dan mentalitas yang menimpa bangsa ini, maka perlu pada
sekolah-sekolah yang ada, baik tingkat dasar (SD), tingkat menengah (SMP)
maupun tingkat atas (SMA) perlu diberikan kegiatan ektrakulikuler untuk
pembinaan karakter/kepribadian anak. Pada masa anak-anak dan remaja,
kepribadian mereka masih dalam tahap pencarian, perkembangan dan sifatnya
labil, gampang dipengaruhi oleh lingkungan, gampang dipengaruhi oleh
tanyangan-tanyangan negatif dari TV, internet, gang-gang anak muda, tawuran,
narkoba, seks bebas dan lain sebagainya, oleh karena itu butuh perhatian lebih,
dalam rangka mengawal perkembangan kepribadian generasi bangsa ini.
Menurut Anifral Hendri mengenai fungsi kegiatan ekstrakurikuler
adalah sebagai berikut :
1.
Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk
mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi,
bakat dan minat mereka.
2.
Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan
kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.
3.
Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk
mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik
yang menunjang proses perkembangan.
4.
Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk
mengembangkan kesiapan karir peserta didik.[22]
Dalam
upaya melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler banyak sekali hambatan dan
permasalahan yang harus dihadapi baik terhadap SDM, sarana dan dana, tingkat kepedulian
orang tua daan masyarakat maupun petunjuk pelaksanaan ekstra kurikuler itu
sendiri sehingga kegiatan ekstra kurikuler di sekolah tidak berjalan
sebagaimana mestinya, apalagi saat ini siswa dituntut untuk belajar penuh pagi
dan sore.
Pembinaan karakter maupun
kepribadian tidaknya gampang, dan tidaklah singkat. Butuh proses lama untuk
membentuk karakter/kepribadian yang baik pada seseorang, oleh karena itu
pembinaan karakter harus dilakukan sejak dini dan harus mendapat porsi tambahan
dari jam pelajaran di kelas (ekstrakulikurer).
Untuk membentuk karakter yang baik
pada anak, diperlukan pembiasaan-pembiasaan perilaku yang positif, dalam hal
ini peran guru dan orang tua sangat penting dalam mengawal kebiasaan yang
dilakukan anak. Peran orang tua dan guru hendaklah mampu menjadi model yang
ideal yang bisa mereka contoh, dari perilakunya, tutur katanya dan lain
sebagainya.
Anak dalam kegiatan ekstrakuler ini
dilatih untuk mempunyai respon reflek dengan baik dalam memecahkan setiap
masalah yang mereka hadapi, hal ini butuh latihan dan pembiasaan dalam
pengawalan guru dan orang tua.
Harapan dari kegiatan ektrakulikuler
ini, nantinya anak mempunyai kecerdasan sosial, moralitas, arif dan bijaksana
dalam menghadapi dan memecahkan problem yang mereka hadapi, bahkan problem yang
dihadapi bangsa ini. Semoga dikemudian hari, generasi penerus ini mampu
memberantas; korupsi, perampokan, pembunuhan, narkoba, dan prilaku menyimpang
lain yang ada di masyarakat.
c. Budaya Sekolah
Sekolah adalah
institusi sosial. Institusi adalah organisasi yang dibangun masyarakat untuk
mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Untuk maksud tersebut sekolah
harus memiliki budaya sekolah yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan
kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan potensi dirinya
masing-masing.
Budaya sekolah
adalah keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat
kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Jika definisi ini diterapkan
di di sekolah, sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur
dominan dan kultur lain sebagai subordinasi.[23]
Pendapat lain
tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah
adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh
suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah
berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru
sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan
masalah-masalah tersebut.[24]
Pandangan lain
tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni
bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar,
nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama
oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan
untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru
dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat
diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang
tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak
menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada.[25]
Budaya sekolah yang
positif akan mendorong semua warga sekolah untuk bekerjasama yang didasarkan
saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga, mendorong munculnya
gagasan-gagasan baru, dan memberikan kesempatan untuk terlaksananya pembaharuan
di sekolah yang semuanya ini bermuara pada pencapaian hasil terbaik. Budaya
sekolah yang baik dapat menumbuhkan iklim yang mendorong semua warga sekolah
untuk belajar, yaitu belajar bagaimana belajar dan belajar bersama. Akan tumbuh
suatu iklim bahwa belajar adalah menyenangkan dan merupakan kebutuhan, bukan
lagi keterpaksaan. Belajar yang muncul dari dorongn diri sendiri, intrinsic motivation,
bukan karena tekanan dari luar dalam segala bentuknya. Akan tumbuh suatu
semangat di kalangan warga sekoalah untuk senantiasa belajar tentang sesuatu
yang memiliki nilai-nilai kebaikan.
Budaya sekolah yang
baik dapat memperbaiki kinerja sekolah, baik kepala sekolah, guru, siswa,
karyawan maupun pengguna sekolah lainnya. Situasi tersebut akan terwujud
manakala kualifikasi budaya tersebut bersifat sehat, solid, kuat, positif, dan
professional. Dengan demikian suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan
belajar, semangat terus maju, dorongan untuk bekerja keras dan belajar mengajar
dapat diciptakan.
Budaya sekolah yang
baik akan secara efektif menghasilkan kinerja yang terbaik pada setiap
individu, kelompok kerja/ unit dan sekolah sebagai satu institusi, dan hubungan
sinergis antara tiga tingkatan tersebut. Budaya sekolah diharapkan memperbaiki
mutu sekolah, kinerja di sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki
ciri sehat, dinamis atau aktif, positif dan profesional.
Budaya sekolah sehat
memberikan peluang sekolah dan warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja
secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi, dan akan
mampu terus berkembang. Oleh karena itu, budaya sekolah ini perlu dikembangkan.
Selanjutnya, dalam
analisis tentang budaya sekolah dikemukakan bahwa untuk mewujudkan budaya
sekolah yang akrab-dinamis, dan positif-aktif perlu ada rekayasa social. Dalam
mengembangkan budaya baru sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan
sekolah: yaitu level individu dan level organisasi atau level sekolah. Level
individu, merupakan perilaku siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya
sekolah yang ada. Perubahan budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku
individu. Perilaku individu siswa sangat terkait dengan prilaku pemimpin
sekolah. Dalam hal ini bisa perilaku kepala sekolah dan terutama guru,
bagaimana mereka memperlakukan para siswa. Mencakup antara lain :
a)
Bagaimana guru memberikan perhatian dan menangani
masalah yang dihadapi siswa,
b)
Bagaimana guru menanggapi masalah penting yang terjadi
di sekolah, terutama yang menyangkut kepentingan siswa,
c)
Bagaimana guru mengalokasikan sumber yang ada, terutama
dalam member kesempatan untuk berkomunikasi secara mudah,
d)
Bagaimana para guru memberikan contoh atau tauladan terhadap
para siswanya, karena umumnya siswa lebih banyak memperhatikan apa yang
dilakukan para guru dari pada mendengarkan apa yang dikatakan guru,
e)
Bagaimana guru member rewards dan punishment atas
prestasi dan perilaku siswanya
Sedangkan pada
level institusi atau sekolah, mencakup antara lain
1)
Bagaimana design dan pergedungan sekolah, sebab ini
juga merupakan bagian dari kultur sekolah,
2)
System, mekanisme dan
prosedur sekolah, seperti tata tertib sekolah dll.
3)
Bagaimana ritual, tata cara, dan kebiasaan yang ada di
sekoalah, seperti upacara sekolah, seragam sekolah dsb.
4)
Apakah sekolah memiliki semboyan atau jargon yang
menjadi kebanggaan seluruh warga sekolah?
Budaya sekolah (
kultur sekolah ) sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari
sekolah tersebut. Budaya sekolah merupakan jiwa dan kekuatan sekolah yang
memungkinkan sekolah dapat tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan
berbagai lingkungan yang ada.
C. Kerangka Pikir
Dalam rangka
penyusunan kerangka pikir, peneliti terlebih dahulu melakukan pengamatan
terhadap proses pembinaan karakter siswa di MTsN Watampone yang melibatkan guru sebagai
pendidik, siswa, metode yang digunakan dalam proses tersebut.
Dalam penelitian ini yang menjadi objek utama di lakukannya penelitian adalah ke efektifan
pendidikan karakter siswa di MTsN Watampone, dengan melalui pembinaan karakter pada proses pembelajaran di
sekolah,,kegitan ekstrakorikuler dan budaya sekolah,.Dengan adanya pembinaan karakter ini, diharafkan akan terwujid karakter yang lebih baik dalam diri siswa.
Agar penulisan dalam
tesis ini lebih jelas, maka penulis membuat kerangka pikir sebagai landasan
yang sistematis dalam membahas masalah-masalah yang akan diteliti, sekaligus
menjadi acuan dalam proses selanjutnya sebagai gambaran terkait model pembinaan
karakter di MTsN Watampone sebagai berikut :
Ekstra kulikuler
|
Budaya sekolah
|
Pembelajaran
|
MTsN Watampone Kab.
Bone
|
PEMBINAAN KARAKTER
|
Pramuka, PMR dan OSIS
|
Pembelajaran
|
Budaya sekolah
|
[1] Wahyu Mustakim, Pengaruh Penerapan Pendidikan Karakter Di
Sekolah Terhadap Perilaku Akademik Siswa Kelas X Teknik Computer Di Smk Pgri
Yogyakarta(tesis;UNY,2010)
[2] Amanarus Sabroh,
Pengaruh Pendidikan Karakter Terhadap
Pembentukan Kejujuran Siswa Mts Negeri Galur Kulon Progo Yogyakarta(Skripsi,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 111
[3] A.Hapidah, Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui
Kegiatan Ekstrkurikuler Di Madrasah Aliyah Negeri 1 Watampone(Tesis; UMI,
2013), h. 103
[4]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II;
Balai Puataka; Jakarta, 2007, h. 231
[5]Abdul Majid dan
Dian Andayani, Pendidikan Karekter
Perspektif Islam (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) h. 33
[7] Mochtar Buchori. 2007. Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan Kita. Dikutip dari www.tempointeraktif.com/hg/kolom/…/kol,20110201-315,id.html diakses hari
minggu 2 februari 2016 pukul 18.50 WIB.
[8] https://datakata.wordpress.com/2014/04/13/pembentukan-karakteristik-individu/ di akses 2 februari 2016
[11] https://pndkarakter.wordpress.com/category/tujuan-dan-fungsi-pendidikan-karakter/ di akses tanggal
26 agustus 2015.
[12] http://membumikan-pendidikan.blogspot.com/2014/10/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html, di akses
tanggal 25 agustus 2015
[13] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan
Implimentasi (cetakan pertama, Alfabeta: Bandung, 2012), h. 36
[14] Ahmat Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung (Bandung;
Rosda Karya, 2012).h. 20-21.
[19]Six pillars of characters ini dicetuskan oleh
sekelompok guru, ahli etika, dan pelajar yang mengadakan pertemuan di Aspen.
Gagasan six pillars ini diinspirasi dari buku
Thomas Lickona, Education for Character. 1991. Keenam karakter pokok ini
dapat dipakai sebagai instrument pengukuran karakter siswa.
[20] http://mahamerumedan.blogspot.com/2015/03/pembentukan-karakter-siswa-melalui-mata_15.html di akses tanggal
29 agustus 2015
[21] http://pasca.uin-malang.ac.id/ektrakulikuler-untuk-pembinaan-karakter-siswa/ diakses tangal
30 agustus 2015
[22] Anifral Hendri. (2008). Ekskul Olahraga Upaya
Membangun karakter Siswa. http://202.152.33.84/index.php?option=com_content&task=view&id=16421&Itemid=46.
2
februari 2016
[23]HAR Tilaar, Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia, (Bandung
: PT Remaja Rosda Karya., 2002), h. 25
[24] Zamroni, Dinamika Peningkatan Mutu (Yogyakarta: Gavin Kalam
Utama. 2011), h. 200
[25] Ibid. h. 297
[26] https://ulilalbabjong.wordpress.com/2012/01/23/pendidikan-karakter-dan-budaya-sekolah/ diakses tanggal
30 agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar