BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemajuan suatu
bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia
bergantung pada kualitas Pembinaan. Peran Pembinaan sangat penting untuk
menciptakan masyarakat yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Era
globalisasi menuntut setiap bangsa memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
berdaya tahan kuat dan perilaku yang andal. Kualitas SDM sangat penting, karena
kemakmuran suatu bangsa tidak lagi ditentukan oleh sumber daya alamnya saja,
melainkan SDM-nya juga. Sangat memprihatinkan di saat SDM bangsa Indonesia
berada di peringkat 105 dari 173 negara-negara di dunia. Rendahnya SDM di Indonesia, dikarenakan
rendahnya mutu Pendidikan. Selanjutnya, Pendidikan adalah kunci
untuk membangun SDM.[1]
Selain rendahnya SDM di Indonesia terdapat banyak penyimpangan perilaku
di kalangan pelajar. Salah satu yang paling menghawatirkan adalah tawuran antar
pelajar. Pemberitaan media tentang tawuran antar pelajara semakin marak,
terutama sepanjang tahun 2012. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sudah
terjadi 147 kasus tawuran dengan korban sebanyak 82 anak.[2]
Tawuran antar pelajar merupakan
persoalan yang sangat kompleks karena berkaitan langsung dengan perilaku
destruktif siswa.
Persoalan tawuran antar pelajar mengindikasikan bahwa kebijakan pendidikan
karakter yang dibuat pemerintah belum terealisasi sebagaimana yang diharapkan.
Jangankan persoalan tawuran antar pelajar, masalah-masalah seperti bolos,
menyontek, terlambat ke sekolah, pornografi, pembangkangan, narkoba dan miras
telah sangat memiriskan banyak pihak. Berhadapan dengan berbagai persoalan di
atas, maka implementasi pendidikan karakter menjadi semakin urgen.
Di negara ini tujuan
Pendidikan nasional
diidealisasikan sebagaimana termuat dalam UU RI No. 20 Tahun 2003, bab II Pasal
3, dimana “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi Marusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’’[3].
Jika idealisasi tersebut menjelma dalam realita, maka arus siswa akan memasuki Pembinaan
ke jenjang yang lebih tinggi, dan tatkala mereka lulus, mereka akan menjadi
modal utama lahirnya SDM yang terampil, duduk pada jajaran terdepan memiliki
moralitas tinggi. Karenanya, pendidikan moral dan agama di
sekolah-sekolah atau di dalam keluarga, dan moralitas perilaku Pendidikan harus
dimapankan secara berlanjut dan konsisten dari zaman ke zaman.[4]
Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Bahkan
orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu
pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Melihat
masyarakat Indonesia sendiri juga lemah sekali dalam penguasaan soft skill.
Teladan
kepribadian dan kewibawaan yang dimiliki oleh guru akan mempengaruhi positif
atau negatifnya pembentukan kepribadian dan watak anak. Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT.
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.[5]
Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa Rasulullah adalah suri tauladan dan gurunya-guru adalah
Rasulullah, oleh karena itu guru dituntut memiliki kepribadian yang baik
seperti apa yang ada pada diri Rasulullah SAW. Kedudukan guru yang demikian,
senantiasa relevan dengan zaman dan sampai kapanpun diperlukan. Lebih-lebih
untuk mendidik kader-kader bangsa yang berbudi pekerti luhur (akhlaqul
karimah).
Dengan bekal Pembinaan
karakter yang kuat diharapkan akan lahir anak-anak masa depan yang memiliki
keunggulan kompetitif yang ditandai dengan kemampuan intelektual yang tinggi
(ilmu pengetahuan dan teknologi) yang diimbangi dengan penghayatan nilai
keimanan, akhlak, psikologis, dan sosial yang baik.[6]
Pembinaan
karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu
individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Persoalan karakter masyarakat
(bangsa) ini bukan hanya persoalan Indonesia. Negara maju seperti Amerika,
Jepang, dan Eropa juga mengalami persoalan ini. Peserta didik saat ini
sepertinya mengalami kekosongan karakter. Kekosongan karakter ini yang
mengakibatkan kemerosotan akhlak peserta
didik. Untuk itu Pembinaan karakter dibutuhkan untuk menumbuhkan terpuji pada
diri peserta didik.
Peristiwa–peristiwa yang menyimpang
menunjukkan karakter generasi muda Indonesia sudah berada pada titik yang
mengkhawatirkan. Beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter adalah:
pertama, sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi
lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan
menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN). Kedua, kondisi
lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik.
Thomas Lickona dalam buku Anasufi Banawi
mengungkapkan sepuluh tanda perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran
suatu bangsa yaitu:
Meningkatnya
kekerasan dikalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,
pengaruh peer-group yang kuat dalam
tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan
narkoba, alkohol dan seks bebas, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,
rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya
ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.[7]
Kesepuluh perilaku di atas sudah tampak
pada siswa saat ini karena minimnya pendidikan dan pembinaan karakter di
sekolah. Mengingat pendidikan karakter sangat berperan dalam membangun sumber
daya manusia (SDM) yang kuat, maka perlunya pendidikan pembentukan karakter
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu
strategi yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan dari pendidikan
karakter tesebut.
Pendidikan karakter di sekolah sangat
terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud
adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan
dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai.
Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan,
muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan,
dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan
salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Oleh karena itu dari latar belakang di
atas sebagai penerus bangsa yang konsen di bidang Pembinaan, dipandang penting
melakukan kajian secara mendalam dalam bentuk penelitian tentang
karakter siswa di masa pubertas pada jenjang Pembinaan menengah pertama atau
madrasah tsanawiyah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana model
pembinaan karakter siswa di
MTsN Watampone
Kabupaten Bone?
2.
Bagaimana efektifitas pembinaan karakter siswa melalui pembelajaran, ekstrakurikuler dan
budaya sekolah di MTsN
Watampone Kabupaten Bone?
C.
Defenisi Opresional Variabel
Adapun istilah
yang perlu ditegaskan dalam judul penelitian ini adalah
Model pembinaan karakter siswa adalah cara penanaman integritas pada
diri siswa agar siswa memiliki ciri khas. Ciri khas tersebut adalah asli, dan
mengakar pada kepribadian siswa tersebut dan merupakan mesin pedorong bagaimana
seorang bertindak, bersikap, berujar, serta merespon sesuatu. Model pembinaan
karakter ini dapat di ukur dari proses pembinaan yang terjadi di sekolah.
D.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
a.
Model pembinaan karakter siswa di MTsN
Watampone Kabupaten Bone.
b.
Efektifitas pembinaan karakter siswa melalui kegitan pembelajaran,
ekstrakokurikiler dan budaya sekolah di MTsN Watampone
Kabupaten Bone
2.
Kegunaan Penelitian
Dalam
penelitian yang penulis lakukan, terdapat beberapa manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
a.
Secara teoritis
Hasil
penelitian ini dapat memberikan sumbangan secara teoritis untuk memperkaya khasanah keilmuan dan sebagai tolok ukur bagi setiap pengajar dalam peranannya di bidang belajar mengajar.
b.
Secara praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak yang berkompeten dalam bidang pendidikan, khususnya guru untuk membangun karakter siswa.
[1] Munawar
Shaleh, Politik Pendidikan: Membangun Sumber Daya Bangsa dengan Peningkatan
Kualitas Pendidikan (Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), h. 12.
[3] UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang System Pendidikan Nasional, bab
II pasal 3. hal 3
[4] Sudarwan Danim, Agenda
Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2003), Cet. 1,
hlm. 63.
[6] Mukhtar, Desain
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Misaka Galiza, 2003), Cet.
2, hlm. 9.
[7] Anasufi Banawi. Keefektifan
Model Pembelajaran IPA Berbasis Karakter dalam Meningkatkan Budi Pekerti Siswa
Sekolah Dasar. Tesis. Yogyakarta: UNY. 2009, h. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar