1. Pembagian Otak Kanan-Kiri
mempengaruhi gaya belajar
Mitos ini gue taruh di nomor 1 karena gue lihat populer banget
dan impact-nya cukup luas. Guru-guru di sekolah pun banyak yang
percaya dan mempengaruhi anak didiknya. Pada derajat tertentu, menelan konsep
ini metah-mentah bisa berbahaya.
Coba
aja cermati kalimat-kalimat berikut.
“Kamu tuh tipe otak kanan, kayaknya emang lebih cocok
masuk IPS”
“Anak IPA itu dominan otak kiri”
“Pengen sih belajar piano, tapi gue kan anaknya otak kiri ya,
kayaknya ga bisa deh kalo disuruh belajar musik dan seni gitu”
Kalimat-kalimat di atas seakan-akan mencoba mengkotak-kotakan,
membentuk stereotyping yang menggerus harga dan kepercayaan
diri, hingga menghambat potensi seseorang. Lo seperti menghakimi diri lo
sendiri dengan label yang bikin diri lo males gerak. Padahal kita tahu,
kesuksesan itu adalah resultan dari usaha keras dan konsisten serta mindset yang
positif.
Parahnya, kalimat-kalimat di atas didasarkan atas konsep yang
keliru. Dikotomi otak kanan-kiri lahir dari salah tafsir sebuah eksperimen
sains terhadap otak (split brain experiment) di tahun 1960an. Walaupun
ada distribusi kerja di masing-masing bagian otak, faktanya, otak kanan dan
kiri kita tidak pernah terisolasi satu sama lain dan selalu bekerja sama ketika
melakukan suatu kegiatan apapun. Kak Pras udah pernah mengulas mitos otak
kanan-kiri secara lengkap, mulai dari asal mula, berkembangnya mitos, dan
dampaknya di artikel ini.
2. Eh, belum 5 menit!
Kalo di luar negeri sih, namanya “5 Seconds Rule”, bukannya 5
menit. Gue ngga ngerti kenapa di Indonesia jadinya 5 menit. Ngga ada juga orang
yang nungguin makanan jatuh sampe 5 menit, kan? xD Biasanya kalo makanan jatuh,
ya langsung diambil dalam hitungan detik. Trus hap masuk lagi ke mulut. Hii..
“5 Seconds Rule” adalah kepercayaan yang bilang bahwa butuh
waktu 5 detik buat bakteri di lantai untuk mengkontaminasi makanan yang jatuh
ke lantai. Kalo bisa ambil makanan yang jatuh dari lantai dalam waktu kurang
dari 5 detik, makanannya masih bagus buat dimakan karena bakteri belum sempat
“menyentuh” makanan tersebut. “5 Seconds Rule” ini tidak lebih dari anjuran
supaya kita ngga buang-buang makanan.
Dan faktanyaa, sedikit kontak aja dengan lantai, bahkan 1 detik
aja, bakteri-bakteri di lantai pasti langsung mengkerubuti makanan yang jatuh
itu. Penelitian menujukkan, ga ada perbedaan yang signifikan pada jumlah
bakteri pada makanan yang jatuh ke lantai dalam 2 detik dengan jumlah bakteri
pada makanan yang jatuh ke lantai yang sama selama 6 detik. Iya, hal sesimpel
ini aja ada penelitiannya.
3. Manusia baru make 10% kapasitas
otaknya
Mitos otak yang satu ini menyatakan kalo manusia baru
memanfaatkan 10% kapasitas otaknya, 90% lagi masih belum dimanfaatkan dengan
optimal. Biasanya mitos ini juga dibarengi dengan mitos serupa, seperti
“Einstein sudah bisa memanfaatkan otaknya 16%, manusia biasa baru 10%”.
Kalo emang otak lo baru dipake 10%, lo ga akan bisa membaca
tulisan gue ini. Fakta bahwa lo lagi segar bugar di depan laptop baca tulisan
ini, adalah bukti kalo otak lo sudah berfungsi sepenuhnya. Jika hanya 10%
bagian otak lo yang bekerja, lo udah stroke kali.
Sama dengan mitos otak sebelumnya, mitos ini juga lahir dari
salah tafsir sebuah eksperimen sains. Mitos ini bisa populer karena seakan
memberi pengharapan (palsu) pada pelajar yang nilainya jelek atau pas-pasan
bahwa ada cara instan untuk mengaktivasi 90% bagian otak lainnya. Heleh heleh,
gue yakin anak Zenius ga ada yang begini ya. Seperti gue sebutkan sebelumnya,
usaha keras memang harga mati untuk meraih apa yang kita inginkan. Everything
has its price. Einstein sendiri bilang, "I have no special talent.
I am only passionately curious."
Nah, gue sempat juga kupas tuntas tentang mitos otak 10% di
sini.
4. Lidah punya zona-zona untuk mengecap
rasa tertentu
Materi ini pasti kalian dapetin pas belajar Biologi di sekolah.
Gue aja kadang masih ngajarin materi ini di kelas 8 SMP dan 11 SMA karena
tuntutan soal ujian. Gagasan ini menyatakan bahwa lidah sebagai indera pengecap
mempunyai area tertentu untuk mengecap rasa yang berbeda.
Dari mana mitos ini lahir? Konsep ini bermula dari sebuah
penelitian yang landasannya ngga kuat. Pada 1901, seorang ilmuwan Jerman
melalukan penelitian terhadap sensitivitas lidah pada 4 rasa yang umum (manis,
asam, asin, pahit). Ditemukan bahwa terdapat perbedaan waktu pada bagian-bagian
lidah untuk bisa mendeteksi rasa dari suatu zat makanan. Tapi, perbedaan
waktunya tipiiis banget dan ngga terlalu signifikan. Entah kenapa, terjadi
simplifikasi bahwa perbedaan waktu ini dibilang jadi perbedaan sensitivitas.
Padahal, walaupun satu bagian pada lidah bisa mendeteksi suatu
rasa sedikit lebih cepat, semua bagian pada lidah bisa bisa merasakan semua
jenis rasa dengan level intensitas dan sensasi yang sama.
Sebenarnya gampang banget kalo lo mau membuktikan peta rasa pada
lidah itu keliru. Ya coba aja lo taruh garam di ujung depan lidah lo, lo bisa
merasakan rasa asin. Taruh gula di pangkal lidah, lo bakal tetap bisa merasakan
rasa manis.
Berbagai penelitian dan dekontruksi pemahaman terkait peta rasa
pada lidah yang lahir seabad lalu ini sudah banyak dilakukan. Yang terbaru
adalah penelitian pada 2014 yang berhasil mengungkapbahwa ada
8.000 sensor yang tersebar di lidah dapat merasakan berbagai rasa secara
merata, ngga per bagian.
Yang masih menjadi misteri adalah kenapa konsep yang udah
kadaluwarsa ini masih diajarin di sekolah. Ngga hanya di Indonesia aja, di
kurikulum Amerika sana, materi ini masih masuk jadi bahan ajar. Hemhh..
5. Aktivasi Otak Tengah
Menurut deskripsi program Aktivasi Otak Tengah (AOT), otak
tengah manusia pada umumnya masih belum aktif. Program ini menawarkan jasa
mengaktifkan otak tengah dengan teknologi mutakhir untuk meningkatkan
konsentrasi, kemampuan sosial, fisik, kreativitas, dan keseimbangan otak kanan
dan kiripadahal ini juga mitos zzz).
Mitos yang satu ini bukan lahir karena salah tafsir temuan
ilmiah maupun ilmu yang kedaluwarsa. Mitos ini lahir dari konsep yang
ngaku-ngakunya ilmiah, padahal sama sekali tidak berdasarkan ilmu pengetahuan
dasar yang valid tentang otak.
Otak tengah adalah penghubung otak depan dan otak belakang.
berfungsi mengontrol respon penglihatan, pendengaran, gerakan bola mata dan dilasi
pupil, gerakan motorik, kewaspadaan (alertness), serta mengatur suhu tubuh.
Sedari kecil, otak tengah kita sudah berfungsi. Gampang aja untuk mengatehaui
apakah program AOT ini bener atau enggak. Sesuai dengan fungsinya, kalo bener
otak tengah kita masih "tidur” atau belum aktif, berarti pergerakan
bola mata jadi abnormal, kena penyakit Parkinson, hingga stroke.
Hebohnya lagi, program Aktivasi Otak Tengah diiringi dengan
klaim fantastis, seperti setelah anak diaktvasi otak tengahnya, ia jadi bisa
melihat dengan mata tertutup dan jenius dalam hitungan hari. Wah, gimana
masyarakat awam ngga tertarik, ya dengan cara instan seperti ini. Apalagi,
orang tua yang sangat mendambakan anaknya jadi seorang jenius.
Oiya, mau kasih catatan sedikit tentang gambar di atas. Bukan
berarti para cuber (pemain rubik cube) ga bisa menyelesaikan
rubik dengan mata tertutup ya. Menyelesaikan rubik's cube dengan mata
tertutup emang bisa dilakuin tanpa ngintip. Ratusan ribu cuber di dunia
udah buktiin itu bisa bahkan ada kompetisinya tersendiri. Soal kecurangan itu
juga ada, tapi jumlahnya gak signifikan dan yang ketauan curang udah diproses
secara resmi (di-banned dari kompetisi resmi, dll). Mereka bisa melakukan itu
dengan mempelajari pattern dari rubik's cube itu tersendiri.
Yang bikin kartun itu jugacuber Indonesia (Fahmi Asyari) untuk
nyindir AOT yang dulu lagi booming.
Kalo lo penasaran dengan kupasan kritis tentang aktivasi otak
tengah dan bagaimana caranya lo bisa membuktikan bahwa kemampuan membaca dengan
mata tertutup itu ngaco, simak tulisan lawas gue ini.
6. Manusia (hanya) punya 5 indera
Kita
diajarin di bangku sekolah kalo manusia punya 5 indera, yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, peraba, dan pengecap. Tapi, gimana caranya gue bisa
merasakan keseimbangan tubuh, akselerasi ketika gue lagi lari, hingga merasakan
suhu tubuh naik ketika gue lagi demam?
Gagasan tradisional “Manusia hanya punya 5 indera” sebenarnya
hanya penyederhanaan di bangku sekolah yang lahir sejak jaman Aristoteles. Kelima
indera tersebut memiliki organnya masing-masing yang gampang bisa langsung kita
amati sehari-hari. Bisa dibilang, 5 indera ini adalah yang terbesar. Tapi
terkadang, masyarakat awam jadi salah kaprah dan berpikir bahwa manusia
hanya memiliki 5 kapasitas untuk menginderakan keadaan lingkungannya.
Angan-angan akan manusia super membuat sebagian masyarakat berpikir ada
kapasitas indera lain yang bisa kita singkap, seperti indera keenam, which
is nonsense. Hehehe.
Tapi mari kita perjelas dulu definisi indera di sini. Definisi
indera yang gue pake di sini adalah kapasitas fisiologis suatu organisme untuk
mengirim informasi ke otak mengenai keadaan lingkungan dan tubuh. Menggunakan
definisi ini, berarti indera manusia bisa lebih dari 5. Ada bagian tubuh kita
yang memiliki kemampuan untuk mengindera tekanan, rasa gatal, suhu, posisi
tubuh (proprioception), ketegangan otot, rasa sakit (nociception),
keseimbangan (equilibrioception), zat kimia dalam tubuh (kemoreseptor),
rasa haus, rasa lapar, waktu, dan lain-lain. Kadang ada pula saintis yang
menggunakan definisi yang lebih detil lagi, di mana misalnya kapasitas indera
pengecap masih bisa di-breakdown lagi jadi reseptor untuk rasa
asin, manis, asam, dsb.
Mengatakan kalo manusia cuma punya 5 indera, itu seperti
meremehkan kerja tubuh kita yang kompleks ini ya.
7. Bahan kimia itu berbahaya
Wah,
mitos ini sepertinya udah lumayan mengakar di pikiran masyarakat. Terima kasih
pada iklan-iklan produk herbal dan tradisional yang mencoba mengurangi dominasi
produk pabrikan modern. Mitos ini bisa mengakar di masyarakat Indonesia,
khususnya, karena (gue lihat) 2 faktor, yaitu (1) background budaya
Indonesia yang mengandalkan apa-apa langsung ambil dari alam sebelum mengenal
produk pabrikan modern dan (2) kadang harga produk pabrikan modern agak mahal,
ga pas dengan sebagian besar kantong masyarakat Indonesia. Ini jadi peluang
bisnis sendiri bagi para produsen produk “herbal” dan “alamiah”. Selanjutnya,
melihat adanya tren di masyarakat Indonesia yang menggemari produk “herbal”,
mulailah perusahaan-perusahaan besar meluncurkan produk yang ikut mengaku
“herbal”.
Padahal mah imej negatif pada “bahan kimia” dan imej positif
pada “herbal” itu misleading ya. Faktanya, semua hal yang ada
di sekitar kita adalah bahan kimia. Seluruh tubuh kita tersusun dari jutaan
molekul dan senyawa kimia. Benda yang lo gunakan tiap harinya, mulai dari meja,
teflon penggorengan, baju, sampe alat elektronik, juga terbentuk dari bahan
kimia. Bahkan, segala sesuatu yang berasal dari alam, juga bahan kimia. Air
yang lo minum, udara yang lo hirup, api yang lo nyalain, hingga sebutir beras
yang lo makan, bahan kimia juga kan?!
Bahan kimia bisa jadi berbahaya, ga peduli bahan kimia itu kita
langsung dapat dari alam atau udah melalu proses pabrik (yang toh juga
berasal dari alam). Suatu bahan kimia bisa jadi berbahaya atau bermanfaat
bergantung pada cara dan dosis pemakaiannya. Selain itu, produk herbal yang
mengklaim dirinya langsung diperoleh dari alam bisa juga berbahaya,
jika tidak melalui proses atau standar kesehatan yang ditetapkan lembaga
resmi pemerintah.
Kak Ivan pernah bahas soal miskonsepsi bahan kimia ini dengan
kerennya di artikel berikut.
8. Minum antibiotik pas demam atau flu,
biar cepat sembuh
Guys, ada ngga orang terdekat atau anggota keluarga lo, yang
dikit-dikit mengandalkan antibiotik ketika sakit ringan?
Wah, kalo ada, lo sebaiknya memperingatkan mereka bahwa yang
mereka lakukan bisa jadi keliru. Antibiotik berasal dari kata anti dan bio (hidup).
Berarti digunakan untuk membunuh sesuatu yang hidup. Antibiotik, secara
definisi, membunuh bakteri. Nah, batuk, sakit telinga, sakit tenggorokan,
pilek, flu, dan demam ringan itu umumnya disebabkan oleh virus. Antibiotik
tidak dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh virus.
Walaupun memang dalam beberapa kasus penyakit yang disebabkan oleh virus ini,
terkadang berpotensi "mengundang" bakteri, sehingga dalam diagnosa
tertentu diperlukan antibiotik.
Tapi secara umum, yang mau gua tekankan di sini adalah persepsi
yang keliru bahwa antibiotik adalah "obat-segala-penyakit" yang bisa
menyembuhkan hampir semua penyakit ringan, termasuk yang disebabkan oleh virus.
Kenapa? Coba ingat-ingat lagi pelajaran Biologi kelas 10. Virus itu bukanlah
makhluk hidup. Virus punya materi genetik, tapi tidak bisa melakukan aktivitas
kehidupan, seperti metabolisme hingga reproduksi, tanpa bantuan inang. Virus
itu berada di tapal batas antara benda mati dan benda hidup. Jadi ngga nyambung
kan menggunakan antibiotik untuk mengatasi virus?
Minum antibiotik dengan tujuan yang tidak sesuai dengan fungsi
dasarnya atau dosis yang ditetapkan dapat menyebabkan bakteri umum lainnya di
dalam tubuh menjadi resisten terhadap obat. Hal ini bisa memicu terbentuknya
“bakteri super” yang menyebabkan penyakit yang jauh lebih buruk daripada
penyakit awal. Ketika dikasih antibiotik pada dosis yang sama, mereka udah ngga
mempan lagi. Butuh antibiotik dengan dosis yang lebih tinggi lagi.
Antibiotik itu ngga bisa sembarangan beli di apotek ya tanpa
resep dokter. Namun, sayangnya, kadang ada oknum dokter yang tidak
bertanggung-jawab yang suka kasih resep antibiotik untuk pasien dengan gejala
sakit ringan. Di sisi lain, terkadang ada juga pasien yang bandel terus
langsung minum antibiotik tanpa resep dan diagnosa dari dokter. Dalam
konteks ini, penting banget buat pasien untuk mengerti kenapa antibiotik ga
bisa mengatasi virus dan juga secara aktif menanyakan pada dokter apakah hasil
diagnosanya memang ada potensi pertumbuhan bakteri, karena jika tanpa alasan
yang kuat, konsumsi antibiotik justru berpotensi buruk bagi kesehatan
jangka panjang.
9. Minum susu secara teratur bisa
mengurangi risiko osteoporosis
Dari
kecil, kita udah dikasih “doktrin” supaya rajin minum susu karena merupakan
sumber asupan kalsium yang bagus untuk kesehatan tulang.
Osteoporosis atau tulang keropos adalah keadaan melemahnya
tulang karena ketidakseimbangan antara terbentuknya sel tulang baru dan
kerusakan tulang. Orang biasanya kehilangan sel tulang seiring bertambahnya
usia.
Mengkonsumsi kalsium dengan cukup dan memaksimalkan cadangan
tulang pas tulang lagi aktif-aktifnya tumbuh (hingga usia 30 tahun) memang
memberikan fondasi penting bagi masa depan. Tapi hal ini ngga mencegah
kerusakan tulang di kemudian hari. Kerusakan tulang seiring berjalannya usia
adalah hasil dari berbagai faktor, meliputi faktor genetik, kurangnya aktivitas
fisik, dan menurunnya kadar hormon dalam tubuh.
Jadi, mengurangi risiko osteoporosis jangan terpaku pada minum
susu dan konsumsi kalsium saja. Sudah banyak studi yang menemukan bahwa tidak
ada hubungan antara asupan kalsium yang tinggi dengan kurangnya risiko patah
tulang (lihat The Journal of Nutrition dan NCBI). Tapi, kurang asupan kalsium tentu ngga
baik juga dong. Cukup saja, jangan terlalu tinggi, jangan
kerendahan pula.
Sumber kalsium pun ngga harus terpaku pada susu. Hanya
mengandalkan susu sebagai sumber kalsium bisa menimbulkan risiko lain, seperti
ada orang yang lactose intolerant, produk susu tinggi akan
lemak jenuh yang merupakan faktor risiko penyakit jantung, dan tingginya kadar galaktosa hasil pencernaan susu bisa
merusak ovarium dan bisa menyebabkan kanker ovarium. Sumber
kalsium lain ada banyak, seperti sayuran hijau (sawi, brokoli, bayam) dan
kacang-kacangan.
Faktor lain harus diperhitungkan juga dalam upaya mengurangi
risiko osteoporosis. Selain cukup mengkonsumsi kalsium, kita juga dianjurkan
untuk cukup dapat vitamin D (paparan sinar matahari yang cukup atau lewat
suplemen), vitamin K (pada sayuran hijau), dan olahraga beban secara teratur.
Seperti jalan kaki, menari, jogging, angkat beban, naik tangga,
badminton/tenis, dan hiking. Aktivitas fisik semacam ini memberikan
tekanan pada tulang yang dapat mempertahankan kepadatan tulang sepanjang hidup.
10. Golongan darah mempengaruhi
kepribadian
Nah, ini juga salah satu mitos yang sering berseliweran di
Instagram, Path, dsb. Ceritanya, golongan darah itu mempengaruhi personality seseorang.
Sebenarnya gagasan ini ngga jauh berbeda dari tipe kepribadian berdasarkan
zodiak sih.
Gampang banget untuk tau kalo ini cacat secara logis dan penuh
bias. Kepribadian dan karakter manusia itu kan ada banyak. Gimana bisa karakter
yang beragam itu dikotak-kotakkan pada hanya 4 tipe golongan? Katanya golongan
darah AB itu jenius dan suka menghasilkan ide cemerlang. Tapi, gue tau banyak
kok orang yang jenius tapi ngga bergolongan darah AB.
Selain itu, sifat orang kan dinamis, bisa berubah seiring berjalannya
waktu, bisa jadi karena proses pendewasaan atau kejadian tertentu dalam hidup.
Katanya, golongan darah O ngga bisa tepat waktu. Misalnya ada si Otong
bergolongan darah O, suka ngaret. Tapi karena kemudian dia masuk dunia kerja
dan nyadar kalo lelet itu bisa mempengaruhi karir, dia pun belajar untuk tepat
waktu dan akhirnya bisa jadi pribadi yang disiplin. Nah, apa bisa dibilang
Otong ganti golongan darah?
Biasnya adalah, kalo ada tipe kepribadian di kartun-kartun
golongan darah yang pas beneran dengan karakter diri atau teman lo, kesesuaian
itu diheboh-hebohin trus di-share di timeline socmed,
“Ih beneran ya, gue golongan darah B, emang suka blak-blakan”. Coba
aja ada karakter di kartun-kartun itu yang ngga cocok dengan dirinya, udah
diabaikan gitu aja, ngga diseriusin. Dan, itu dilakukan hampir kebanyakan orang
yang suka lucu-lucuan baca tipe kepribadian lewat golongan darah. Makanya,
sistem ini bisa jadi populer.
Tapi, agak berbeda dengan ramalan zodiak, tipe kepribadian per
golongan darah ini ada bumbunya sedikit. Karena dibagi berdasarkan golongan
darah, orang mengira ini lebih akurat karena disangkut-pautkan dengan biologis
manusia. Padahal, di kelas 8 SMP atau 11 SMA, kita belajar bahwa golongan darah
itu ditentukan dari ada atau tidaknya antigen tertentu di permukaan sel darah
merah yang nantinya dapat memicu respon imun jika kita menerima darah dari
golongan yang ga kompatibel dengan darah kita. Di sisi lain, kepribadian atau
sifat manusia ditentukan oleh susunan gen yang ada di setiap sel tubuh manusia.
So, mendasarkan golongan darah sebagai penentu kepribadian seseorang itu keliru
kan, Sis?
Penelitian khusus pun telah dilakukan dan ditemukan bahwa ngga
ada hubungan antara golongan darah dengan personality seseorang.
Kalo lo penasaran dengan bahsan lebih dalam tentang apa itu
golongan darah dan bagaimana kategorisasi kepribadian berdasarkan golongan
darah telah menimbulkan kasus rasisme, baca aja tulisan gue yang ini ya:
Itu baru 10 dari sekian banyak mitos sains di kehidupan
sehari-hari. Agak miris rasanya jika masyarakat kita mengeluarkan uang begitu
banyak untuk hal yang tidak punya dasar valid dan terbukti secara ilmiah.
Mitos-mitos ini bisa kita tinggalkan perlahan jika sebuah generasi belajar
dengan benar, bukan sekedar mencari nilai atau mengandalkan cara instan. Mereka
belajar dengan benar-benar menghargai ilmu pengetahuan, pentingnya berpikir
kritis, dan kerja keras untuk menciptakan perubahan atau inovasi hidup yang
lebih baik.
Sebagai penutup, gue mau nanya ke kalian semua, apakah lo tau
mitos sains lain yang dulu sempat membuat lo terkecoh? Jika kalian mau
melengkapi list gue di atas, tambahin mitos sains lain itu di bagian komen, ya.
Thank you..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar